Rabu, 12 Februari 2014

Kami Bisa Menjadi Bangsa Penulis dan Pembaca !



Appetizer Essay

Ada Apa dengan Writer-Reader Di Indonesia?

Dalam pertemuan untuk yang pertama kalinya di semester 4 kali ini adalah bagaimana kita memberikan kritik kepada para penulis artikel mengenai suatu hal tertentu. Hal ini sangat menyulitkan bagi saya. Karena saya belum begitu memahami artikel yang saya abaca. Akan tetapi saya akan mencobanya.

Setelah saya membaca ketiga artikel tersebut dimana penulis artikelnya adalah A.Chaedar Alwasilah dan C.W Watson. Terdapat tiga pernyataan penting yang saya ambil dari tiap artikel tersebut, di antaranya:
“Yang tidak bias menulis sebaiknya jangan bermimpi jadi dosen !” (A.Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012).

“Students should be taught to develop critical language awareness, namely sensitivity of power and ideology underlying language use.” (A.Chaedar Alwasilah, The Jakarta Post, January 14, 2012)

“The irrelevance and inappropriateness of much of the material which student nteacher are required to learn in teacher-training institutions.”
Di sini saya akan mencobamenanggapi atau member kritikan dari artikel yang telah saya baca. Dr. Chaedar memaparkan bahwa sangat lemah bahkan sangat disayangkan dari sekelompok lulusan S1, S2, bahkan S3 di Indonesia karena tidak bias menulis. Dari pernyataan Bapak Chaedar tersebut memang tidak dapat dipungkiri karena banyak mahasiswa pun yang enggan untuk menulis.
Tanggapan mengenai karya tulis atau ilmiah di sini tidak dapat ditampik karena sebagian besar mahasiswa memang mebuat karya tulis karena memang tuntutan dari tugas kampus terhadap mata kuliah tertentu. Pada jaman sekarang tekhnologi sudah semakin canggih dan mahasiswa kian semakin pintar untuk membuat skripsi, tesis bahkan disertasi dengan mudah. Pantas saja Dr. Chaedar menanggapi bahwa sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia membuat jurnal dengan asal terbit.
Kemudian Dr. Chaedar pula memaparkan bahwa dengan skripsi mahasiswa belajar mandiri, dengan tesis mahasiswa belajar meneliti, dan dengan disertasi mahasiswa belajar membangun teori atau rumus baru. Apabila mahasiswanya tidak bisa menulis, lalu kemana peran para dosen? Memang sangat disayangkan dan kalau mkemang dibandingkan dengan Negara lain seperti Malaysia, Korea Selatan, A.S dan Negara lainnya Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibandingkan mereka. Kita selaku Warga Negara Indonesia harus dapat melebihi setidaknya meningkatkan kualitas kita untuk menerbitkan buku lebih dari apa yang diharapkan.
Hal ini seharusnya menjadi pusat perhatian penting yang harus dipertimbangkan. Memang system cara mengajar bahkan dalam hal penerbitan buku atau jurnal tiap Negara itu berbeda. System di perguruan tinggi di Indonesia tidak memaksakan mahasiswa untuk dapat menulis jurnal akan tetapi di AS mengharuskan mahasiswanya agar banyak menulis essay. Memang benar adanya kalau mahasiswa memerlukan banyak bacaan dalam bentuk jurnal atau essay untuk menumbuhkan minat mereka untuk menulis lebih banyak lagi.
Selain mengkritik masalah dosen atau lulusan perguruan tinggi yang tidak bisa menulis, di sini akan memberikan kritikan pula kepada para siswa yang sangat sulit menjadi pembaca yang baik. Keadaan yang memang sebenarnya membutuhkan pembenahan yang cukup serius karena tidak sedikit yang mengatakan para siswa tidak mengerti atau bahkan tidak memliki pengetahuan yang cukup untuk memnjadi seorang penulis atau pembaca.
Kekuatan penulis terletak pada pembacanya pula. Apabila pembacanya dapat memberikan kritikan terhadap apa yang telah ia baca berarti sudah setidaknya membantu penulis untuk membangkitkan tulisannya. Akan tetapi, pada kenyataannya hamper 95% para siswa di tingkat SMP dan SMA menganggap bahwa mereka tidak memiliki latar belakang sebagai pembaca (reader) dan mereka menuturkan behwa mereka selalu tudak dapat merkonsentrasi ketika membaca. Yang menjadi permasalahannya adalah akan dibawa kemana nasib buku-buku yang telah diterbitkan jika kita hanya menjadi pessive reader?
Kurangnya kesadaran itu yang menjadi alas an bahkan jawaban utama kenapa para siswa tidak mau membaca apalagi memberikan kritikan terhadap suatu tulisan. Kurangnya kesadaran tersebut juga didukung karena mereka selalu mengungkapkan “ I don’t have similar background knowledge “, dan mereka juga mengatakan “ I have not reached that level “ . nampaknya para siswa harus diberikan dukungan bahkan kalaupun bias harus adanya pendekatan dari para guru serta teman mereka untuk membangkitkan rasa peduli mereka untuk menjadi pembaca yang aktif.
Posisi saya sendiri sebagai mahasiwa terkadang juga enggan untuk membaca maupun menulis. Dari kurangnya minat untuk menulis dan membaca, saya pun merasa jadi mahasiswa yang sangat tertinggal informasi (pengetahuan). Padahal kita sudah mengetahu bahwa dalam Al-Qur’an pun terdapat perihal mengenai arti “bacalah” sudah ada pada saat Rasulullah mendapatklan wahyu. Dalam artikel tersebut pula Dr.Chaedar lebih berpusat mengkritik kondisi para siswa maupun mahasiswa . untuk ke depannya, harus dibiasakan untuk menulis dimulai dari hal yang terkecil terlebih dahulu sehingga dapat dijadikan bekal untuk menulis tulisan yang akan datang.
Bukan hanya mengkrikik untuk kalangan perguruan tinggi dan sekolah akan tetapi juga memandang kea rah yang paling sederhana yaitu school children. Wr.Watson dan Dr.Chaedar memaparkan bahwa sebagian besar school children di Indonesia tidak terlalu membutuhkan untuk mempelajarimenulis dan membaca because they do not need to be for the purposes of national examination.
Di sini, saya juga memiliki pendapat bahwa secara realita yang ada, untuk siswa school children memang tidak seharusnya terlalu dituntuk untuk dapat menulis karena dilihat dari pola piker dan kemampuan mereka sepertinya balum cukup untuk menguasainya. Akan tetapi, alangkah baik dan idealnya diberikan suatu pembelajaran yang menarik apakah mencakup kegiatan yang berhubungan dengan tulis-menulis atau tidak. Hal ini bertujuan agar siswa memiliki rasa penasaran untuk menulis.
Jadi, dapat disimpulkan mengenai Writer-Reader bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan dan menjadi perhatian khusus bagi para siswa , mahasiswa, calon guru, atau bahkan dosen sekaligus. Itu semua dijadikan sebagai bekal agar kita tidak tertinggal, dan kita harus mampu menulis, setidaknya menulis mengenai ap[apun yang ingin kita tulis.


Senin, 10 Februari 2014

Indonesia Gemar Menulis dan Membaca



TIKET MENUJU PERLINTASAN WRITING

Pertemuan perkuliahan hari ini merupakan pertemuan pertama pada tanggal 03 februari dengan dosen yang sama, yaitu Mr. Lala Bumela. Pada Writing Composition 2 yang lalu sebagian besar membahas  mengenai literasi terhadap baca dan tulis. Kali ini tidak jauh berbeda karena masih menyinggung mengenai menulis dalam pendidikan.
Menulis merupakan suatu garis besar dalam lintasan pertandingan. Di sini kita semua dituntut untuk dapat melewatinya. Bagi kalangan pelajar, kegiatan menulis merupakan salah satu bagian yang memang seharusnya bahkan bersifat wajib bagi mereka untuk membantu kegiatan belajar. Dalam Writing Composition 4 kali ini kami di ajarkan agar mampu berevolusi dari writing sebelumnya.
Menurut para pakar ilmu yang memang mengerti dalam bidangnya, menulis merupakan suatu tantangan terbesar dalam pengekspresian bahasa kedua (L2). Dari Hyland 2003 memaparkan bahwa : “Learning how to write in a second language is one of the most challenging aspects of second language learning”. Dari pernyataan tersebut sudahjelas bahwa Mr. Hyland memandang suatu tantangan yang sangat besar terhadap menulis. Karena tiap individu melakukan interaksi dari bahasa pertama (L1) atau bahasa hati ke dalam bahasa kedua (L2) atau bahasa yang di ekspresikan. Dalam hal ini, tidak semua orang dapat melakukannya karena disinilah letak tantangan terbesarnya.



Dari Mr.Hyland juga memaparkan kembali argumennya terhadap menulis bahwa bagi sebagian besar orang yang berbahasa inggris menjadikannya sebagai L1, sehingga kemampuan untuk menulis merupakan sesuatu yang memerlukan instruksi khusus dari seseorang yang lebih mengerti. (“ Even for those who speak English as a first language, as ability to write effectively is something that requires exensive and specialized instruction (Hyland 2003 ; Hyland 2004))”.

Tidak hanya penulis yang berperan di sini, akan tetapi pembaca juga berperan sangat penting karena memiliki pengaruh besar demi menunjangnya kapasitas dari penulis. Karena antara konteks, teks, dan pembaca adalah satu-kesatuan yang saling berkaitan. Dapat diibaratkan terhadap gambar di bawah ini: 





            Sesuatu tulisan tidak akan menjadi tulisan yang sempurna tanpa adanya pembaca (reader) yang melakukan critical reading. Suatu karya dari tulisan akan terbangun apabila di dalamnya terdapat konteks maupun teks yang saling membangun. Karena pembaca yang pandai merupakan mereka yang pandai memberikan kritikan terhadap tulisan yang memang seharusnya berhak untuk dikritik.
Pembaca bias mencakup siapa saja yang memiliki ilmu maupun kemampuan mengkritik terhadap suatu wacana baik karya tulis, jurnal, maupun artikel. Isi yang terdapat dalam tulisan dapat mencakup apa saja tergantung dari penulisnya yang mengeksplorasikan hasil pikirannya karena tulisan merupakan suatu kejujuran yang dituangkan oleh penulisnya.
Mengenai hal ini, saya pun akan satu kalimat yang telah sayan baca dari power poin pembahasan pertama kali ini yang berjudul “Writing for Academic”  yang terdapat sebuah pernyataan dari Mr. Hyland 2003 :” My expectation is to be honest “. Dapat dijabarkan karena posisi kita adalah sebagai calon guru kelak, jadi pernyataan tersebut dapat membantu para guru terhadap bahasa yang menjadikan beliau pandai dalam menulis. Salah satu guru yang pandai ialah yang memiliki banyak pilihan dalam proses mengajar seperti metode, bahan ajar, dan prosedur yang harus digunakan di dalam kelas. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut :


An expectation is to be honest (Hyland 2002) :
  • To help teacher of language became teacher of writing.
  • A strong teacher is a reflective teacher
  • A teacher can make informed choice about a teaching.

Belum cukup sampai di sini, dalam menulis juga memiliki komposisi tersendiri sehingga dapat membangun suatu tulisan yang utuh. Writing like any craft. Kenapa dinyatakan seperti itu? Perlu kita ingat kembali, karena writing merupakan bentuk pengekspresian dari hati penulis (writer) yang dituangkan kembali di atas kertas sehingga menghasilkan suatu karya yang dapat diabadikan dan diketahui oleh pembacanya (reader)
.
Menulis (writing) mencakup berbagai aspek yang tidak terlepas dari mengasah kemampuan (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang terdiri dari texts, contexts dan readers. Seperti karya lainnya, writing juga menunjukkan isinya melalui practice Dari pembacanya bahkan penulis itu sendiri. Menulis juga dapat dijadikan suatu pusat pertahanan dari L1 dan L2.  
  • L2 Writing teaching includes :
v   Language Structures 
v   Texts functions 
v   Themes or topics 
v   Creative expression 
v   Composing processes 
v   Content 
v   Genre and contexts of writing

Selain menulis, terdapat satu hal yang harus ditinjau dari seorang penulis yaitu reader karena suatu tulisan tidak ada artinya tanpa reader. Dalam kegiatan ini akan terjadi suatu komunikasi yang tersurat maupun tersirat dari apa yang dibaca. 






Jadi, dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa menulis itu harus dituju melalui suatu tiket yang dinamakan kemauan untuk mengasah kemampuan yang juga harus didukung oleh adanya reader yang akan ,mendukung, mengkritik, dan member saran dari apa yang telah di tulis oleh writer. Dari penulisan tersebut akan menghasilkan sesuatu yang dinamakan meaning yang akan benar-benar dipertimbangkan kembali oleh reader yang akan menghasilkan suatu karya.